Mengenai Saya

Foto saya
Sengkang, Sulawesi Selatan, Indonesia
Nurdin Blogger Wajo, Guru SMA 7 Wajo, Admin Quipper School Indonesia, Promotor STIFIn Berlisensi.

Rabu, 26 Mei 2010

DISKUSI BUKU TENTANG BISNIS


KEBERANIAN menjadi salah satu modal utama menjadi pengusaha. Tanpa itu, jangan pernah bermimpi menjadi pengusaha.

SUKSES menggelar diskusi buku "Sukses di Usia Muda", koran ini kembali menggelar diskusi serupa di studio mini Harian Fajar, gedung Graha Pena Lt-4, Rabu 26 Mei. Kali ini, temanya "Pengusaha Papan Atas, Sosok dan Kiprah Enterpreneur Sulsel." Diskusi kali ini digelar dengan juga menggandeng Lembaga Studi Informasi dan Media Massa (eLSIM) Makassar.

Disiarkan secara langsung Fajar FM, diskusi kemarin menghadirkan tiga pengusaha papan atas di Makassar, Presiden Direktur PT Megatama Buana Perdana Muhammad Aras, Bachder Djohan (dirut PT Kima), dan Willianto Tanta (komisaris utama PT Passokorang). Hadir pula penulis buku Makmur Ghazali dari eLSIM dan Supa Atha’na.

Makmur diberi kesempatan memaparkan proses lahirnya buku tersebut. Menurutnya, ide penerbitan buku ini sangat sederhana, yaitu berangkat dari minimnya enterpreneur di Sulsel. Makmur berharap, buku ini bisa menginspirasi lahirnya enterpreneur baru.

"Hasil kajian di negara kita, enterpreneur baru 0,18 persen, padahal idealnya 2 persen dari jumlah penduduk. Kita juga ingin menginspirasi generasi muda kita untuk bisa menekuni dunia enterpreneur," paparnya.

Muhammad Aras mendapat kesempatan pertama membeberkan rahasia suksesnya. Lelaki kelahiran Surabaya, 1 Januari 1942 ini, bergerak di bisnis properti. Di bawah bendera PT Megatama Buana Perdana, Opa, sapaan akrab Muhammad Aras, banyak membangun perumahan di berbagai daerah di Sulsel.

"Tapi karena tidak kuat lagi jalan, saya fokus di Makassar di sekitaran Jl Abdullah Dg Sirua. Saya memanfaatkan apa yang bisa kita manfaatkan," ujarnya.

Opa mengaku tidak memerlukan modal besar untuk menjalankan usahanya. Dia hanya memanfaatkan orang yang punya modal, juga orang yang punya tanah. Menurutnya, untuk menjadi besar hanya satu yang harus diperhatikan, yakni nyali.

"Besar gak nyalinya, kalau nggak besar jangan pernah bermimpi menjadi pengusaha yang sukses. Karena kalau nyali tidak besar, selalu dibayang-bayangi jangan-jangan begini, jangan-jangan begitu," ucapnya.

Lelaki yang kelihatan masih segar di usia 68 tahun ini menjelaskan, risiko pengusaha hanya dua; untung dan rugi. Kalau sudah mantap menjadi pengusaha, sebutnya, maka jalan saja dan jangan berpikir lagi.

Dirut PT Kima, Bachder Djohan yang mendapat giliran berikutnya sedikit merendah. Menurutnya, dirinya baru kali ini bisa masuk dalam sebuah buku.

Di satu sisi dia mengaku merasa bangga dikategorikan pengusaha papan atas dan disejajarkan dengan Opa dan Willianto Tanta. Namun di sisi lain, Bachder mengaku malu. Maklum, akunya, dibandingkan dengan dua pembicara lainnya, asetnya-lah yang paling kecil.

Bachder mengaku bukan keluarga pengusaha. Karena berasal dari Fakultas Teknik, Bachder bergelut di bisnis konstruksi, kemudian masuk ke jasa konsultan. Alasannya, di dunia konsultan ada seni. Namun, lanjut dia, bidang jasa konstruksi adalah musiman, ada masa, ada waktu.

Kemudian, Bachder mengembangkan usaha taksi di Makassar. Namun dia heran, ketika di Bandung jumlah penduduknya besar, tapi taksinya cuma dua operator, sementara di Makassar, kotanya kecil tapi operator taksinya ada tujuh.

"Malah yang lucu, sudah bubar perusahaannya taksinya masih jalan. Akan tetapi pemerintah diam, masyarakat juga diam. Ini adalah tantangan kita ke depan," ujarnya.

Pembicara lainnya, Willianto Tanta juga melihat keberanian sebagai sesuatu yang mutlak dimiliki seorang pengusaha. Bos Clarion ini mengatakan, tanpa keberanian, seorang pengusaha tidak akan sampai kepada tujuan yang diinginkan.

Selain keberanian, kata dia, seorang pengusaha juga harus jeli menangkap peluang. Pasalnya, kesempatan tidak selalu muncul. "Sehingga apabila ada kesempatan, kita harus jeli untuk menangkapnya," ungkapnya.

Dunia usaha di era demokrasi ini, lanjut Willi, tantangannya semakin berat. Sehingga kalau seorang pengusaha tidak jeli menghadapinya, dia bisa tumbang. "Tantangan ke depan memang semakin berat, tapi itu harus dihadapi dan harus kita lakukan," jelasnya.

Puluhan peserta yang hadir pada diskusi yang dipandu Koordinator Liputan Harian Fajar, Ruslan Ramli, terlihat antusias. Ahyar, seorang wiraswastawan mengaku mulai menjalankan usahanya pada 2001, namun dia merasakan ada gelombang, kadang dirinya punya semangat yang tinggi, kadang semangat itu turun.

Sementara Syamsul, seorang pengusaha tronton, menanyakan bagaimana bisa merebut hati perbankan ketika mereka baru memulai sebuah usaha.

Menjawab hal tersebut, Opa mengatakan, gelombang seperti yang dialami Ahyar, juga pernah dia alami. "Setinggi apapun gelombang itu datang, nyali Anda harus selalu mengatakan, saya bisa menyelesaikan.

Kalau misalnya Anda punya masalah dengan seseorang, jangan menghindar, tapi temui. Jangan matikan ponsel, kuatkan nyali Anda, kalau belum bisa juga kembalikan kepada Sang Pencipta. Katakan apa yang menjadi kehendakmu jadi, maka jadilah," ujarnya.

Bachder juga mengungkapkan hal yang sama. Dia membagi kategori pengusaha berdasarkan usia. Pada usia 30-45 tahun adalah masa pengenalan usaha, kemudian 45 tahun kerja keras, dan usia 68 tahun untuk menikmati.

"Kalau kita tidak punya program ke sana, maka terhambur semua kesempatan. Umur sekian memang harus jatuh bangun, orang yang tidak pernah jatuh bangun, akan cepat jatuh dan tidak akan bangun-bangun lagi," papar Bachder.

Untuk pertanyaan Syamsul, Willianto Tanta mengungkapkan, sebagai pemilik tronton, Syamsul harus memperbaiki pelayanan saat mengangkut alat berat. "Jika pelayanan Anda bagus, maka Anda akan terus dicari," tandas Willi. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut